Judul
Buku: Studi Filsafat 2
Penulis:
Hassan Hanafi
Penerbit:
LKis
Tahun:
2015
Jumlah
Halaman: 503
Gagasan
mengenai kebangkitan Islam (an-nahdah al-Islamiyyah) di dunia Arab-Islam telah
mengantarkan kaum muslimin kepada tiga persoalan utama, yakni sikap terhadap
tradisi Islam, sikap terhadap tradisi Barat, dan sikap terhadap realitas
kekinian. Ketiga persoalan ini, pada gilirannya, menjadi positioning sikap
kultural yang menjadi poros perbincangan, perdebatan, dan pencarian para
intelektual Arab kontemporer dalam upaya penggalian otentisitas tradisi yang
diandaikan menjadi spirit dalam menghadapi realitas kekinian umat Islam
(al-ashalah wa al-mu’asarah).
Berbagai
eksperimentasi telah dilakukan, baik pada ranah politik maupun kebudayaan.
Meskipun demikian, pandangan yang dominan dalam menyikapi ketiga persoalan di
atas, kalau tidak apologis dan ideologis maka cenderung bersifat a-historis.
Ini tampak pada frame works kalangan yang disebut tradisionalis dan
fundamentalis. Kelompok ini beranggapan bahwa formula kebangkitan harus
berpijak pada ranah tradisi. Mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran
Islam klasik serta meresonansikannya untuk kembali pada ajaran Islam klasik
secara total, dalam pandangan kelompok ini, merupakan suatu kebutuhan bagi
kebangkitan Islam.
Demikian
juga halnya dengan kalangan yang disebut modernis dan sekular. Kelompok ini
mengusung asumsi yang berkebalikan dari kelompok tradisionalis. Mereka
beranggapan bahwa formula kebangkitan Islam harus mengambil dari tradisi Barat,
karena Islam dianggap tidak mengatur secara mendetil masalah-masalah kenegaraan
selain hanya nilai-nilai universalnya saja, seperti keadilan, persamaan,
musyawarah, dan seterusnya.
Dalam
arena inilah, Hassan Hanafi, seorang intelektual muslim yang namanya sudah
sangat populer di tengah wacana keislaman di tanah air, secara serius dan
konsisten, yang disertai dengan dedikasi keilmuan yang tinggi dan tanpa lelah
berusaha untuk keluar dari jebakan sikap apologetik-ideologis dan ahistoris
dari kecenderungan dua kelompok di atas. Baginya, kebangkitan Islam tidak akan
terwujud dengan hanya menonjolkan satu sikap kultural dan mengesampingkan dua
sikap kultural yang lain, melainkan harus berpijak dalam keseimbangan pada ketiga
sikap kultural di atas.
Menurut
Hassan Hanafi, ketidakseimbangan di dalam sikap kultural, hanya akan
menyebabkan pupusnya kesatuan identitas (wahdah asy-syakhshiyyah) dan
“keretakan yang payah” di kalangan bangsa Arab sendiri, sehingga
peradaban-peradaban, metode-metode pendidikan dan aliran-aliran politik saling
berbenturan, yang pada gilirannya hanya mengakibatkan kesatuan nasional dan
identitas kebangsaan menjadi hancur.
Buku yang
ada di tangan pembaca ini merupakan salah satu eksplorasi kegelisahan Hassan
Hanafi terhadap tiga sikap kultural yang tidak imbang, yang ada dalam
kebudayaan Arab-Islam, terutama di ranah kajian filsafat. Sebuah identifikasi
persoalan yang ia sebut dalam kerangka besar pemikirannya sebagai bagian dari
“problem-problem kontemporer”.
Agak
sedikit berbeda dengan karya Hassan Hanafi yang telahkami terbitkan sebelumnya,
yakni: Islamologi 1: dari Teologi Statis ke Anarkis; Islamologi 2: dari Rasionalisme ke
Empirisisme; dan Islamologi 3: dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, yang
lebih banyak berbicara tentang persoalan-persoalan keislaman secara umum,
seperti teologi, ushul fiqh, filsafat, tasawauf, dan kesadaran sosial umat
Islam, maka di dalam buku ini, Hassan Hanafi lebih memfokuskan kajiannya pada
persoalan-persoalan filsafat di dunia Islam dan Barat. Namun demikian,
kajian-kajian yang dilakukan oleh Hassan Hanafi (hampir di dalam seluruh
karyanya) tentu memiliki keterkaitan yang erat. Dalam buku ini, dia
mengungkapkan betapa filsafat tengah mengalami puncak krisis di tengah-tengah
masyarakat Arab-Islam. Filsafat yang
seharusnya merefleksikan sebuah generasi dan peradaban, saat ini, menurutnya,
justru telah menjadi dokumen dan artefak beku yang terus-menerus dibaca dan
dipelajari, namun tanpa upaya mendialogkannya dengan realitas kekinian.
Filsafat hanya “pajangan” pemikiran tanpa disertai pembacaan kritis dan kreatif
terhadapnya.
Dengan
demikian, filsafat seperti kehilangan konteks. Ia dianggap sebagai warisan
tradisi yang taken for granted dan final serta terlepas dari konteks zamannya.
Mempelajari filsafat, pada akhir- nya hanya terperangkap dalam penjara-penjara
pemikiran para filsuf, tanpa mengalami transformasi pemikiran dalam realitas
sosial. Filsafat hanya menjadi alat analisis sosial bagi kaum intelektual dan
sebagai eskapisme dari tanggung jawab intelektual mereka.
Kondisi di
atas, menurut Hassan Hanafi, makin diperparah dengan menguatnya pandangan yang
mengatakan bahwa ‘filsafat’ bersumber dari Barat, bukan dari tradisi, karena di
dalam tradisi, istilah filsafat tidak populer. Istilah yang dikenal dalam
tradisi adalah ‘hikmah’. Karena pemahaman seperti inilah maka terjadi dualisme
dalam melihat realitas kekinian di negara-negara Arab-Islam.
Bagi
Hassan Hanafi, baik tradisi maupun Barat dalam pemikiran filsafat harus dilihat
dalam konteks dan semangat zaman sehingga tradisi tidak menjadi stagnan, dan
Barat bukan menjadi acuan tanpa sikap kritis, melainkan harus dilihat dalam
batas-batas peradaban dan kelahiran pemikiran-pemikiran filosofis tersebut
(baca: oksidentalisme).
Kehadiran
buku ini, ke tengah pembaca yang budiman, adalah untuk memperkaya kajian-kajian
keislaman, khususnya kajian filsafat, di tanah air. Selain itu, buku ini juga
diharapkan bisa menjadi “teman” refleksi terhadap problem kekinian kita yang
kurang lebih juga sama dengan yang dihadapi oleh masyarakat Arab-Islam. Yang
jelas, buku ini sangat berguna bagi para mahasiswa dan para peminat kajian
filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Download
ebook Studi Filsafat 2 pdf via
Google Drive:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar