Judul
Buku: Tuanku Imam Bondjol
Penulis: Dawis Madjolelo, Ahmad Marzoeki
Penerbit: Penerbit Djambatan
Tahun: 1951
Jumlah
Halaman: 184
Tuanku Imam Bondjol adalah salah seorang tokoh ulama,
pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam sebuah peperangan
yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bondjol
lahir dengan nama asli Muhammad Shahab di Bondjol pada tahun 1772. Dia
merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim
ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku
Imam Bondjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin
Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah
seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam
(pemimpin) bagi kaum Padri di Bondjol. Dia sendiri akhirnya lebih dikenal
masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bondjol.
Nama Tuanku Imam Bondjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang
santun. Sosok Tuanku Imam Bondjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum
Paderi. Kaum Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok
masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat yang
zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri.
Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum
Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bondjol
sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum
Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan
Renceh sebagai Imam di Bondjol. Tuanku Imam Bondjol dipercaya untuk menjadi
pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang
merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi
pemimpin dari Kaum Padri.
Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di
tangan Tuanku Imam Bondjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bondjol harus
mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya
walaupun harus melalui peperangan.
Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang
perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi
oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti
kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam,
penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran
pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri
awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh
Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.
Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821
yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik
melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada
akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam
waktu yang sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bondjol diundang Belanda ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bondjol langsung ditangkap dan
dibuang ke Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke
Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bondjol
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bondjol dimakamkan di
tempat pengasingannya tersebut.
Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bondjol mulai menyesali beberapa
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya,
sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme
tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bondjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan
dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku
Imam Bondjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6
November 1973.
Download ebook Tuanku Imam Bondjol pdf via Google Drive
Tidak ada komentar:
Posting Komentar