Judul Buku: Al-Irsyad: Mengisi Sejarah Bangsa
Penulis: H. Hussein Badjerei
Penerbit: Presto Prima Utama
Tahun: 1996
Jumlah Halaman: 267
Hussein Badjerei cukup cermat dan menyuluruh dalam memilih latar
belakang pembahasan. Pada bab-bab sebelum inti, dibahaslah kondisi umat Islam
di dunia dan Indonesia dalam aspek politik, sosial, dan budaya. Bab 2 yang
berjudul “Kebangkitan Dunia Islam”, Hussein bercerita singkat mengenai
kejumudan umat Islam di dunia. Waktu itu, syirik, khurafat dan bid’ah
merajalela dan menjadi kelaziman kondisi masyarakat.
Pada abad XVIII di Jazirah Arab muncul gerakan yang dipimpin oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (1703 – 1787) sebagai kelanjutan dari kiprah Ibn
Taimiyah (1263 – 1328) dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah (1292 – 1350).
Di belahan dunia lain, gerakan lanjutan muncul. Jamaluddin
Al-Afghani (1839 – 1897) bersama Muhammad Abduh (1849 – 1905) dari Mesir
berhasil menggelorakan semangat reformisme dengan nama “Pan-Islam” buatan
Jamaluddin. Gerakan reformisme ini terkenal dengan berbagai sebutan seperti
gerakan tajdid atau gerakan pembaharuan. Gerakan ini mengajak umat Islam di
seluruh dunia agar kembali kepada kemurnian Al-Quran dan Hadist, penggunaan
akal dan sains, serta melek politik. Majalah al-Urwah al-Wutsqa yang
terbit di Paris tahun 1884 tersebut mampu menggoncang dunia Islam, bahkan
membuat resah dunia Barat.
Pada bab selanjutnya “Perantau Arab di Indonesia”, Hussein
mengawalinya dengan motif dan kondisi perantau Arab yang datang ke Indonesia
pada permulaan abad ke-XIX, meskipun hanya satu paragraf. Berikutnya Ia
memberikan gambaran detail tentang kebijakan Belanda terhadap komunitas Arab.
Peraturan “Kebijaksanaan Pemukiman” (Wijken Stelsel) dibuat untuk menjauhkan
penduduk pribumi dari pemahaman yang datang dari luar, dan Pan Islamisme
merupakan salah satunya. Akibatnya, komunitas Arab diharuskan dan hanya dapat
tersentral di beberapa tempat seperti Pekojan di
Jakarta dan Ampel di Surabaya.
Antara tahun 1863 – 1866, komunitas Arab di Indonesia diberikan
“Kebijaksanaan Pas Jalan” (Passen Stelsel), yaitu keharusan mendapatkan izin
dari pemerintah Hindia Belanda untuk bepergian ke luar kota. Barulah
setelah Wijken Stelsel dicabut pada akhir abad ke-XIX, mereka mulai
mencari daerah baru seperti di Krukut dan Tanah Abang, Jakarta.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengucilkan masyarakat
Arab ditopang pula oleh kebijakan kependudukan yang tertuang
dalam Indische Staaatsregeling yaitu pembagian strata berdasarkan
ras, yaitu: 1) Eropa; 2) Timur Asing (Cina, India, dan Arab); dan 3) Pribumi.
Pembagian strata ini dilakukan oleh Belanda untuk menciptakan nuansa pemisahan
antar satu golongan dengan golongan lain. Diskriminasi dan politik divide
et impera menguat.
Masih pada bab yang sama, Hussein memberikan penjelasan soal
stratifikasi sosial masyarakat Hadrami, baik di Hadramaut sendiri maupun di
Indonesia. Secara rasial, Arab Hadramaut terbagi dari empat kategori, salah
satu antaranya adalah Aribah, keturunan Bani Qahtan, yaitu semua
orang Hadramaut, kecuali keturunan al-Muhajir, yang bernenek moyang Ahmad
bin Isa Almuhajir, yaitu migran dari Irak yang datang tahun 952.
Di Indonesia, para ilmuwan Barat membagi masyarakat Indonesia-Arab
menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok “Sayyid” dan kelompok “non-Sayyid.”
Kelompok Sayyid ini disebut dengan Ba’alwi dan
kelompok non-Sayyid disebut dengan syaikh. Hussein dalam bab ini
memberikan kritik kepada pemberian status sosial yang tinggi kepada Balwi dan
pengkultusannya. Ia juga memberikan kritik terhadap pemberian gelar “syaikh”
terhadap golongan non-sayyid. Ia mengatakan, “Mestinya dan sudah cukup
waktunya pula bagi para peneliti untuk memulai ancangan baru …. Dengan demikian
diharapkan kita akan memperoleh acuan baru yang tidak konservatif dan
laik-pakai.”
Pada bab-bab ini nampaknya Hussein Badjerei mempunyai sentimental
terhadap golongan sayyid. Sangat bisa dipahami bahwa isu-isu golongan dan
rasial menjadi isu yang hangat saat itu. Apalagi dalam buku ini penulis
mengatakan dengan lugas bahwa gaya bahasa yang digunakan ialah gaya bahasa
bertutur. Sehingga bagi para pembaca masa kini, kebijaksanaan membaca sangatlah
diperlukan.
Bab terakhir yang akan dibahas pada bab ini ialah “Reorientasi
Politik Pemerintah Hindia Belanda.”. Namun pada bab ini Hussein lebih banyak
bercerita tentang peran penasihat Pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje.
Hussein memberikan penjelasan singkat terhadap biografi Snouck, dari kelahiran
hingga kisahnya mempelajari Islam.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai Adviseur, Snouck
dibantu oleh seorang sayyid asal Pekojan bernama Sayyid Usman bin
Abdullah Alalawi (1822 – 1913). Karena kesetiannya terhadap pemerintah Hindia
Belanda, ia dianugerahi “Bintang Salib Singa Belanda” pada 5 Desember 1899
tanpa upacara resmi.
Saat itu pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan terhadap
umat Islam atas saran dari Snouck Hurgronje. Kebijakan itu adalah bersikap
waspada dan melarang umat Islam dalam berkegiatan politik. Umat Islam hanya
diperbolehkan beribadah dan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial. Sedikit saja
berurusan politik, akan ditumpas habis oleh Pemerintah.
Kebijakan itu diteruskan oleh Sayyid Usman dengan fatwanya yang
menyatakan bahwa jihad itu bukanlah perang melawan orang kafir, melainkan
perang melawan nafsu-nafsu jahat yang bersarang pada diri pribadi setiap orang.
Namun lembar baru perjuangan bangsa Indonesia dimulai sejak lahirnya
“Politik Etis 1901”. Berkat kebijakan itu, Pemerintah Hindia Belanda telah
membuka berbagai sekolah yang terbuka bagi umat Islam. Namun karena masih
adanya diskriminasi dan sikap a priori orang Islam terhadap segala
bentuk pendidikan yang datang dari Barat, maka hasrat untuk membuka lembaga
pendidikan swasta Islam agaknya tidak dapat dibendung lagi.
Maka atas prakarsa para pemuka masyarakat Arab yang berpikiran maju di Jakarta, lewat proses yang
tidak mudah, lahirlah Lembaga Pendidikan Swasta Islam yang besar, Jamiat
Khair.
Pada bagian kali ini, akan dipaparkan tentang apa yang ditulis
oleh Hussein Badjerei di BAB V yang berjudul “Jamiat Khair” dan BAB VI yang
berjudul “Ahmad Soorkaty”.
Hussein menulis tentang Jami’at Khair hanya sebatas enam halaman.
Tentu tidak salah meskipun Jam’at Khair adalah salah satu topik penting dari
sejarah umat Islam di Indonesia, namun keberadaannya di sini hanya sebagai
penyambung realitas dari keberadaan Al-Irsyad sebagai topik utama.
Hubungan antara Jami’at Khair dan Al-Irsyad adalah hubungan yang
cukup sensitif. Keduanya mewakili jenis kesukuannya masing-masing dan tendensi
etnisitas keduanya juga cukup kental. Namun Hussein Badjerei cukup netral dalam
memberikan penjelasan tentang Jamiat Khair.
Ia menuliskan bahwa Jamiat Khair merupakan organisasi “modern”
yang didirikan oleh golongan “terpelajar” dari keluarga
Shihab dan Yahya. Ia juga dengan bangga menyebut salah satu staf pengajar Jamiat
Khair yang bernama Muhammad Alhasyimi sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan
gerakan Kepanduan dan mendirikan Kepanduan umat Islam di Indonesia. Hussein
menulis, “ia mestinya bisa disebut sebagai Bapak Kepanduan Islam Indonesia.”
Jamiat Khair adalah organisasi yang didirikan pada 17 Juni 1905
berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral J. V. Van Heutz. Meski
begitu, pengajuan pendirian organisasi ini sudah dimulai pada tahun 1903.
Organisasi ini pertama kali diketuai oleh Said bin Ahmad Basandid,
wakil ketua oleh Muhammad bin Abdullah bin Shihab, Sekretaris oleh Muhammad
Alfakhir Almasyhur, dan Bendahara oleh Idrus bin Ahmad bin Shihab.
Tujuan Jamiat Khair adalah untuk memberikan pertolongan bagi
orang-orang Arab baik lelaki maupun perempuan yang tinggal di Jakarta dan
sekiyarnya saat kematian dan saat mengadakan pesta perkawinan berbentuk uang
dan barang-barang seperti pakaian, kain putih dan lain-lain, kemudian
mendirikan sekolah pertama di Pekojan Jakarta.
Status kemoderenan organisasi ini ditandai dengan adanya Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Buku Anggota, Notulen Rapat, Iuran Anggota dan
lembaga control anggaran seperti Rapat Tahunan dan lain-lain.
Setelah penjelasan tentang pendatangan Syaikh Ahmad Surkati pada
tahun 1911 sebagai pengajar di Jamiat Khair, Hussein lebih banyak bercerita
tentang hubungan Surkati dengan Jamiat Khair, terutam tentang “Peristiwa Solo”.
Setelah kejadian di Solo tersebut, Ahmad Surkati keluar dari Jami’at Khair dan
mendirikan Madrasah Al-Irsyad dengan dibantu oleh Kapten Arab di Jakarta yaiitu
Umar Yusuf Manggus.
Porsi deskripsi tentang Syaikh Ahmad Surkati banyak dipaparkan
ketika beliau berada di Indonesia. Hanya satu setengah halaman saja Hussein
menceritakan latar belakang Surkati sebelum datang ke Indonesia. Setelahnya,
Hussein menceritakan Surkati secara sinkronis, tidak berurutan waktu, hanya
bersifat kasuistik.
Ahmad Surkati adalah seorang Sudan yang berasal dari keturunan
Jabir bin Abdullah al-Anshari, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw di Madinah dari golongan Anshar. Oleh
karena itu Ia biasa disebut Syaikh Ahmad Surkati al-Anshori. Kata “Soorkaty”
berasal dari kata “Soor” yang berarti kitab-kitab yang berbobot, dan “Katty”
yang berarti bertumpuk-tumpuk atau banyak. Kata-kata itu merupakan dialek
daerah Dunggalah Kuno.
Bagusnya yaitu bahwa Hussein tidak mengulangi kisah yang ada di
bab sebelumnya, termasuk kasus Fatwa Solo. Setelah datang ke Indonesia,
kemudian langsung dipaparkan partisipasi dan kontribusi Surkati dalam
pergerakan umat Islam saat itu. Hadirnya Surkati di momen MIAI dan
persengketaan di tubuh Sarekat Islam (SI) tertampil dengan detail.
Sebagai orang pers, sangat wajar ketika majalah az-Zachirah
al-Islamiyyah di-“hiperbola”-i oleh Hussein Badjerei. Ia menulis,
“penerbitan majalah ini ternyata telah menggoncangkan para ulama serta bumi
santri Indonesia, sebab lewat penerbitan ini telah dibongkar puluhan hadits
palsu dan hadits-hadits yang lemah sanadnya, yang sebelum itu tidak disadari
oleh masyarakat muslimin Indonesia.” Tentang majalah ini dibahas beberapa kali
dalam satu bab.
Pembahasan terpanjang dalam bab ini adalah tentang murid-murid
Surkati di beberapa madrasah yang diasuhnya. Puluhan murid disebutkan dalam
buku dan kesemuanya itu adalah seorang tokoh, baik nasional maupun lokal.
Diantaranya murid-muridnya yang paling terkenal adalah H.M. Rasjidi, Menteri
Agama RI Pertama, Umar Salib Hubeish, Sholah Al Bakri, CH. O. Van der Plas,
seorang konsul Belanda di Jeddah, dan G.F. Pijper, orientalis asal Belanda.
Penutup dari bab ini adalah kondisi Surkati yang mengalami
kebutaan di masa akhir hayatnya. Diceritakan bahwa Soekarno datang menjenguk
Surkati. Soekarno menyesal bahwa Ia baru bisa datang ketika Surkati sudah dalam
keadaan buta, padahal Ia telah mengenal nama besar Surkati sejak lama.
Download ebook Al-Irsyad: Mengisi Sejarah Bangsa pdf via Google Drive:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar