Tanggal rilis: 08 Maret 2019
24 – Menyehatkan Hati Lewat Terapi Seni
52 – Ketika Tato Tak Lagi Diinginkan
118 – Sang Abdi Cilik
Berkesenian nan Menyehatkan
Semasa
saya SMA, terlintas keinginan untuk bekerja sebagai ilustrator grafis di sebuah
majalah. Keinginan itu timbul lantaran saya kerap mengerjakan ilustrasi kartun
untuk majalah dinding di sekolah maupun lingkungan rumah. Sayangnya atau justru
berkah saya tidak lolos seleksi ujian masuk institut seni. Takdir menentukan
saya menekuni ilmu humaniora di Universitas Gadjah Mada.
Seorang pengajar seni rupa berkata kepada saya tentang hakekat seni. Saat
menjadi mahasiswa seni, ujarnya, belum tentu kita semakin produktif dalam
berkesenian. Boleh jadi, kita justru akan disibukkan dengan seabrek tugas
kampus. Seni merupakan kebutuhan mendasar manusia sehingga kita bisa
berkesenian di manapun dan kapanpun. Mungkin, kesenian adalah salah satu
keunggulan sejati manusia Indonesia.
Dari temuan gambar cadas figuratif tertua sejagad di Kalimantan Timur, sampai
adikarya Candi Borobudur nan masyhur. Berkat kemampuan olah rasa dan semesta,
nenek moyang kita lebih arif dan lebih toleran ketimbang generasi kini.
Celakanya, kini kita lebih menyukai centang perenang dialog politik ketimbang
dialog kesenian yang mencerahkan. Padahal, seni berkontribusi penting bagi
kesejahteraan masyarakat.
Praktisi kesehatan meyakini bahwa terapi musik, seni visual, gerakan ekspresif,
dan tulisan ekspresif memengaruhi secara positif psikologi seseorang. Segala
aktivitas yang menginspirasi kekaguman pun memiliki potensi meningkatkan sistem
kekebalan tubuh. Kesenian kunci kesehatan. Meski bukan ilustrator grafis,
setidaknya saya masih konsisten berkarya di penerbitan majalah. Apakah saya
masih berkesenian? Bagi saya, menulis adalah seni. Menulis memiliki kesamaan
dengan beryoga. Usai menunaikan karya, tubuh dan jiwa seolah terlahir kembali
lebih bugar dan tetap waras.
Link Download
Tidak ada komentar:
Posting Komentar