Tanggal rilis: 01 Agustus 2019
12 – Tenaga Kesehatan Muda Santai Hadapi Kendala
138 – Terancam Sirna
100 – Juru Rawat Di Ujung Perang Gerilya
Tujuh Wudhu, Monumen Semangat Baru Bagi "Sang Pemula"
Sebulan silam, saya singgah di gedung bekas kantor Medan Prijaji di Bandung.
Surat kabar itu dibangun oleh Tirto Adhi Soerjo, terbit perdana pada 1907.
Pramoedya Ananta Toer menjuluki Tirto dengan “Sang Pemula”—sebagai perintis
utama kebangkitan nasional kita.
Saya teringat ketika melewati tahun pertama berkarya di Kompas Gramedia,
majalah ini merayakan ulang tahunnya yang ke-40. Dalam perayaan itu Jakob
Oetama, pendiri dan pemimpin redaksi pertama majalah ini, menyematkan sebutan
“Sang Pemula” untuk Intisari—tampaknya terinspirasi dari sebutan Pram tadi.
Bulan ini, tujuh windu silam, Intisari terbit perdana tepat pada peringatan
hari kemerdekaan Indonesia. Tebalnya, 128 halaman. Bertiras 10.000 eksemplar
dan ludes! Harga Rp60 untuk Jakarta dan sekitarnya. Itu sudah termasuk
sumbangan pembangunan Tugu Monumen Nasional.
Kita patut berbangga, pembaca senior majalah ini berpartisipasi dalam
pembangunan monumen kebanggaan Indonesia. Salah satu monumen penting lainnya
yang terkait lahirnya majalah ini adalah Candi Prambanan. Dalam pertunjukan
sendratari di pelataran candi itu, Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong
(Auwjong Peng Koen) membicarakan rencana media baru di tengah kekangan
informasi oleh negara.
Misi mereka sama, akses informasi yang mencerahkan warga. Mereka pun sepakat
untuk menerbitkan media bergaya cerita manusia—bukan renungan atau opini
belaka. Bukan kebetulan apabila keduanya memiliki kesamaan: Jakob dan Ojong
berlatar guru, juga jurnalis yang minat pada sejarah.
Intisari adalah sebuah monumen tujuh windu yang membakar semangat baru. Majalah
ini tidak sekadar menandai zaman, tetapi juga berupaya cerdas dan menginspirasi
setiap dinamika dan generasi. Mungkin, inilah majalah nasional tertua di
Indonesia, yang sampai hari ini masih Anda baca.
Link Download
Tidak ada komentar:
Posting Komentar