Tanggal rilis: 01 Desember 2022
Catatan Editorial
Sebuah catatan harian Monsinyur Albertus
Soegijapranata SJ, memperlihatkan sua- sana Kota Yogyakarta yang mencekam. Saat
itu Rama Kanjeng sapaan masyarakat Jawa kepadanya berada di Gereja Bintaran, 19
Desember 1948. Kita m engenangnya de ngan Agresi Militer Belanda Kedua bulan
ini 74 tahun silam.
“Di mana-mana terdengar deru mesin pesawat
terbang, bunyi tembakan senapan, rentetan ledakan senapan mesin berikut
dentuman meriam. Sejumlah peng ungsi mulai masuk ke Pasturan Bintaran...”
Sampul edisi ini menampilkan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, namun
nyaris terlupa.
Tampak tiga sosok utama: Mgr. Georges de Jonghe
d’Ardoye bersama Presiden Soekarno, dan Rama Kanjeng. Mereka berjumpa di Gedung
Agung, Yogyakarta, pada akhir Desember 1947. Kendati Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda tampaknya masih ingin meminang kembali
permatanya yang hilang itu. Atas situasi ini sang Rama, melayangkan surat
kepada Vatikan. Ia berharap Vatikan bersedia mengakui kedaulatan pemerintah
Indonesia.
Permohonan sang Rama disetujui. Vatikan
mengirimkan Delegat Apostolik untuk Indonesia, Monsinyur George de Jonge
d’Ardoye. Dia adalah Uskup Gereja Katolik Roma asal Belgia. Cita-cita Rama
tercapai. Penga kuan Vatikan atas kedaulatan negeri kita memiliki aspek penting
dalam perjuangan diplomasi dan hubungan dunia internasional.
Setelah Do Jonge menyampaikan surat kepercayaan
dari Sekretariat Vatikan kepada Wakil Perdana Menteri, ia bersama Rama Kanjeng
menuju Gedung Agung untuk berjumpa Presiden Soekarno di Gedung Agung. Kita
meneladani ungkapannya yang sohor, “Jika kita benar-benar Katolik sejati
sekaligus kita juga patriot sejati. Karenanya kita adalah 100 persen patriot,
karena kita adalah 100 persen Katolik.” Moral cerita petikan itu bukan saja
untuk umat yang seiman dengannya, tetapi bermakna juga untuk kita semua.
Link Download:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar