Tanggal Rilis: 30 Januari 2023
Catatan Editorial
Meneladani Jurnalis Tionghoa Tjamboek Berdoeri
Sebuah kebetulan. Pada awal 2006, saya mendapatkan buku Indonesia Dalem Api dan
Bara yang diterbitkan Elkasa dua tahun sebelumnya. Penulisnya bernama pedengan:
Tjamboek Berdoeri. Awalnya saya ragu, namun seorang kawan menyarankan untuk
membelinya.
Alasannya, karena bahasa dan ejaan yang digunakan masih sama seperti saat buku
itu pertama terbit pada 1947. Asyik! Saya lupa berapa harga buku itu persisnya
yang jelas tak sampai seratus ribu. Belakangan ketika saya mencoba mencarinya
di situs belanja daring, mata saya terbelalak. Harganya terentang dari Rp200-an
ribu sampai Rp900-an ribu untuk terbitan yang sama. Sementara untuk buku
cetakan pertamanya ada yang menawarkan sampai Rp10-an juta.
Penerbitan kembali buku ini juga berhasil menyingkap sosok misterius Tjamboek
Berdoeri, yang ternyata adalah Kwee Thiam Tjing. Dia terbilang jurnalis yang
memiliki pemikiran kritis. Perangainya pun dikenang cukup berani,
ceplas-ceplos, dan avonturir. Dia seorang yang progresif, salah satunya kerap
menyebut orang pribumi sebagai “Indonesier” kendati saat itu Indonesia belum
merdeka.
Pun, sekurang-kurangnya sembilan delik pers membelenggunya. Sedikit mujur, enam
kasusnya diputus bebas, selebihnya harus menjalani sepuluh bulan dalam
kurungan. Kwee merekam situasi sekitar 1940-an: akhir Hindia Belanda,
pendudukan Jepang, sampai masa Bersiap yang penuh kekacauan. Ia menggunakan
bahasa percakapan sehari-hari yang biasa dipakai orang Tionghoa di Jawa Timur
pada waktu itu, yakni Melayu Jawa dengan kata-kata serapan dari bahasa Hokkian
dan bahasa Belanda.
Kwee merupakan teladan seorang patriot berpandangan luas. “Koeadjiban dari
tiap-tiap orang jang namaken dirinja nationalist sedjati,” tulisnya, “jalah
loewasken pemandengan dan tadjemken pendengaran kita boat ambil sifat-sifat
jang baek dan bergoena boeat kita dari laen-laen bangsa.”
Link Download:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar