Tanggal Rilis: 29 Mei 2023
Catatan Editorial
Saya tergelitik dengan Kampung Kastela di pesisir Ternate. Penamaannya
mengingatkan pada “castelo” dari bahasa Portugis yang bermakna benteng. Ketika
saya menyinggahinya, kampung itu masih menyimpan repihan tapak Fort Sao Joao
Baptista. Betapa arsitektur memiliki kuasa untuk memengaruhi sekitarnya.
Benteng pertama milik Portugal di Maluku itu pembangunannya diprakarsai oleh de Brito pada 1522. Apabila kita menyimak peta zaman penjelajahan
rempah, benteng ini digambarkan memiliki barak, kapel, sekolah, permukiman, dan
menara-menara ala kastel Eropa. Boleh jadi, inilah jantung kota kolonial
pertama di Indonesia.
Pada abad berikutnya, hunian Eropa masih berada dalam dinding pertahanan atau
intramuros, se perti permukiman dalam kastel dan tembok Batavia yang dibangun
pada awal abad ke-17. Ketika situasi lebih aman, sekitar abad ke-18, mereka
membuka perkebunan dan rumah tetirah atau landhuis di pinggir kota. Awalnya rumah
tetirah itu sepenuhnya berarsitektur Eropa.
Waktu berjalan, pertautan dua budaya menghasil kan rumah berkons truksi Eropa
yang mengadopsi elemen iklim tropis Nusantara. Berkat Jalur Rempah, arsitektur
kita memiliki pengaruh dari berbagai budaya Timur Tengah, India, Tiongkok, dan
Eropa. Para arsitek pun berupaya mencari bentuk sejati arsitektur “asli
Indonesia”. Rumah tua merekam warisan budaya suatu kota atau negara.
Keberadaannya menjadi identitas dan memori warga. Pemeliharaan, pemugaran, dan
penggunaan kembali bangunan tua merupakan bagian dari perilaku berkelanjutan.
Kita pun mengurangi limbah bangunan dan dampak buruk dari pembangunan.
Pelestarian juga menumbuhkan industri wisata baru.
Perencana menghadapi isu pelestarian bangunan tua dan pembangunan kota. Memugar
bangunan tua mungkin hal mudah. Namun, bagian tersulitnya adalah memberinya
jiwa. Selamat ulang tahun ke- 496, Jakarta! Jiwa kotamu bersemayam di setiap
bangunan renta.
Link Download:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar