Tanggal Rilis: 02 Mei 2023
Catatan Editorial
Kaum penghibur yang membentuk
peradaban
Besok hari Rebo 5 Desember 1900 Pertoendjoekan besar jang pertama didalem satoe
roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) moelain poekoel toedjoe malem, Harga
Tempat klas Satoe f2, klas Doewa f1, klas Tiga f0,50”.
Demikian sebuah advertensi dari Tuan Scharwz, pemilik De Nederlandsch Bioscoop
Maatschappij, yang terbit di surat kabar Bintang Betawi pada sehari sebelum
pertunjukan. Warga memang gempar, meski hal itu bukan pertunjukan film pertama
di Batavia.
Film pertama dirilis di Paris pada 28 Desember 1895, bertajuk L train en gare
de La Ciotat (Kedatangan Kereta di Stasiun La Ciotat), berdurasi 50 detik.
Di Hindia Belanda, film pertama kali tayang di Schouwburg (kini Gedung Kesenian
Jakarta) pada 11 Oktober 1896. Louis Talbot menjadi sosok yang mengupayakan
gelaran nonton film bareng pertama itu.
Perihal menonton pertunjukan seni, sejatinya kita memiliki tradisi yang
terpelihara berabad-abad. Wayang kulit yang dimainkan dalang semalam suntuk,
kesenian musik keliling dari desa ke desa atau kelompok dagelan keliling.
Seberapa kuat pengaruh seni pertunjukan dan penghiburan mampu membentuk
karakter masyarakat? Hiburan memiliki kekuatan untuk menyatukan orang-orang
melalui kesamaan minat. Hiburan membentuk kita melalui cara berpikir baru dan
cara memandang dunia. Hiburan juga telah memengaruhi perkembangan nilai yang
diyakini dalam masyarakat.
Berkat buku dan film, misal, kita tertantang untuk berpikir kritis dan lebih
memahami kebinekaan. Pada edisi ini kami menyajikan arsip tokoh-tokoh perintis
di dunia film dan hiburan di Indonesia.
“Pada waktu itulah kami mengerti bahwa (nanti) yang harus menjadi senjata kami
adalaha sinema,” kata Djadoeg Djajakusuma (1918-1987), sutradara film. “Dan
kami berikrar akan menciptakan sinema Indonesia.
Link Download:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar